Liburan di Tengah Hutan Part I

 

Fajri, teman yang menjadi pemandu untuk menikmati surga yang tersembunyi di TNK


Pagi itu, Senin (7-12-2020) dua hari setelah saya menyelesaikan kontrak kerja. Rencana yang disusun dadakan kami nyatakan. Menikmati keindahan alam dan memasak. Taman Nasional Kutai (TNK) yang terletak tak jauh dari kota Bontang, Kalimantan Timur menjadi tujuan. Hutan lindung ini kami pilih karena lokasinya yang tidak terlalu jauh.

Sayang keberangkatan yang terjadwal pukul 08.00 Wita harus diulur hingga 4 jam. Tak apalah, kawan saya yang bernama Fajri harus mengantarkan orangtuanya untuk mengurus keperluan rumah. Untuk mengisi waktu luang dalam penantian, saya menyibukkan diri mengemasi barang-barang yang nantinya akan dibawa pulang. Sekaligus hendak menghabiskan sisa gaji di sana, dan kembali menjadi beban orangtua seraya menunggu tawaran pekerjaan.

Sekitar pukul 10.30 wita, Fajri datang dan meminta maaf karena harus mengulur waktu keberangkatan. Awalnya, saya sedikit ragu berangkat, belum awan yang tadinya cerah. Kini kembali teduh seakan menunjukkan akan datangnya hujan. Maklum, kekhawatiran itu muncul lantaran beberapa hari belakangan hujan tengah asik-asiknya menurunkan kenangan. Ya, satu persennya air. Kata seorang komedian terkenal dengan kekhasannya menata rima di akhir kalimatnya.

Saya bersama beban di punggung, bahu, otak dan lemak


Tapi, bujukan Fajri terus memaksa saya untuk tetap berangkat. Alih-alih akan menjadi salah satu kenangan ketika saya tidak kembali lagi tugas di Bontang. Ditambah ajakan membuat telinga saya panas.

Setengah jam setelahnya kami memutuskan berangkat ke pasar untuk membeli bahan yang akan dimasak nantinya. Tak lupa, persedian karbon monoksida (rokok) pun harus dibeli. Kami biasa menyebut ini sebagai nafas bantuan dalam kelelahan di perjalanan saat beristirahat. Barang ini  sangat tidak disarankan untuk kalian yang suka kesehatan.

Ketika semua barang dirasa cukup dan telah diperiksa satu persatu dalam list belanja. Kami tidak langsung berangkat, beristirahat sejenak, minum kopi botolan dan tak lupa sebatbut (sebatang baru cabut) dulu. Ini sudah menjadi ritual sebelum menjalankan misi.

Setelah semua selesai, kami pun bergegas dengan iring-iringan kawan yang mengejek lantaran tidak diajak. Alasannya, karena hari yang kami pilih adalah hari kerja dan juga kami tidak menginap. Walhasil, info perjalanan itu tidak kami sebarkan.

Untuk mencapai lokasi, dibutuhkan waktu sekitar 60 menit menggunakan kendaraan. Setelahnya harus berjalan kaki dengan waktu yang sama. Mungkin bisa lebih. Jika bawaan terlalu banyak. Misal, beban hidup, luka masa lalu, atau ingatan mantan. Belum lagi lemak yang mengitari perut, paha, kaki, lengan dan pipi.

Jalanan menuju lokasi tempat penitipan kendaraan pun tak semulus pipi wanita bermake-up. Jalan yang sering dilalui truk dan motor pengangkut kelapa sawit bisa dikatakan cukup parah. Ditambah jalan setapak yang licin karena hujan sehari sebelum keberangkatan. Tapi, semua terkendali dengan aman. Maklum, saya dulunya joki motor grasstrack ala-ala.

Nah, medan untuk jalan kaki pun tak semua rata seperti rencana manusia. Lika liku, tanjakan, turunan yang kira-kira sudut kemiringannya 60 derajat membuat saya cepat kelelahan. Mungkin pembaca yang pernah ke sana sudah tahu soal itu.

Saya sendiri, harus berapa kali beristirahat. Ya karena beban yang saya sebut tadi. DItambah, hampir empat tahun tidak pernah jalan-jalan menyusuri hutan lagi.

Saya bukan anggota pecinta alam, tapi banyak teman ikut organisasi itu. Sering diajak santai di hutan saat di kampus dulu. Ya, liburan tanpa pengeluaran yang banyaklah. kan anak kos. Semenjak kerja, saya tidak pernah masuk ke hutan lagi.

Sesampainya di lokasi, suara gemericik air dan dinginnya hutan belantara menyambut bulu kuduk. Saya bergegas menggantung tas dan barang bawaan lainnya. Kecuali beban hidup dan lemak. Menghampiri air untuk memanjakan badan yang telah berkeringat. Kesegaran yang telah lama dinanti. Tempat ini merupakan surga nyata yang ditunjukan oleh yang Maha Kuasa. Saya pikir tak perlu jauh-jauh ke pulau lain sebelum menjelajahi Kalimantan.

Menikmati air yang menyejukkan


Suara burung, monyet, dan banyak binatang lain yang tak bisa disebutkan satu-satu lah ya.Karena ini bukan sambutan. Semua menjadi penghilang penat dan kegaduhan kota yang penuh tipu-tipu. Tiga tahun bekerja, tiga tahun terkurung dalam keegoisan dunia. Tiga tahun pula terobsesi kesuksesan yang dihitung dengan materi. Sampai lupa, kalau dunia hanya bersifat sementara. 

(Note : Bagi pembaca. coba deh sambil dengerin lagu Jangan Menyerah by D’masiv) Saran aja. Soalnya saya aja enggak pernah.

Bersambung aja kali ya.. nantikan...


Komentar

Postingan Populer