Nongkrong di Hutan Lindung

Fajri mengupas sayur yang akan dimasak


Mungkin lima atau enam bukit yang harus dilewati untuk menemukan surga di dalam Taman Nasional Kutai (TNK). Perjalanan yang menguras keringat dan persediaan minum. Sayang, Saya terlalu percaya diri, satu botol air mineral tidak  cukup untuk menemani agenda nongkrong dan masak di tengah hutan kali ini. Air mineral itu sudah habis sebelum sampai di tujuan.

Kata Fajri, tidak perlu risau soal itu. Air yang berada di lokasi dapat langsung diminum tanpa dimasak. Saya hanya mengangguk saja. Saya hanya berpikir agar cepat sampai dan beristirahat. Setelah melewati turunan dan berjalan beberapa kilo melewati rimbunnya semak belukar, akhirnya kami sampai di tujuan.

Tanpa pikir panjang, semua barang bawaan digantung. Tenang, hanya sebentar karena aku tahu rasanya digantung terlalu lama. Setelah menikmati air dan duduk di bebatuan di tengahnya. Saya menghampiri Fajri dan membantunya memasang hammock serta menyiapkan alat-alat untuk memasak.

Saya pun bertugas mencuci sayur mayur yang telah dibeli di pasar Taman Rawa Indah. Lebih populernya sih Tamrin. Pasar tradisional yang dibangun ulang menjadi pasar modern. Cape, naik tangga hanya untuk membeli sayur. Biasanya barang basah ditempatkan dibawah. Lah ini malah di lantai dua.
Hasil jepret sayuran

Ayam, wortel, kentang, trus sayur-sayuran lain telah dicuci bersih. Nah, yang saya tunggu ni. Karena lelah perjalanan telah hilang, beban kehidupan mulai sirna. Saya ambil kamera dan mendokumentasikan semua kegiatan Fajri. Bukan saya. Maklumlah, kalau bergantian nanti pada sibuk pose sana sini enggak jadi masak.

Setelah semua selesai, Fajri bertugas mengupas bahan-bahan yang perlu dibersihkan. Tapi, kenapa ya, tidak dikupas dulu baru dicuci. Entahlah, namanya juga kalau lapar jadi bego. Sementara Fajri mengupas, saya membuat api. Untungnya, pengalaman yang dibagi teman-teman dulu tidak terlupakan begitu saja.

Cukup lama sih api itu menyala. Pekerjaan Fajri yang sudah selesai dan api yang belum nyala membuat kami harus menjalankan ritual. Sebats dulu. Biar enggak spaneng (Tegang). Racun telah usai kami hisap yang didampingi kopi saset yang mulai habis. Akhirnya kami memutuskan memasak di kompor portable yang dibawa Fajri.

Oiya, Kopi tadi juga dimasak menggunakan kompor itu. Lalu buat apa membuat api dan capek-capek mencari kayu bakar. Jawabannya adalah demi konten. Begitulah hidup di zaman 4.0. Tanpa story enggak hidup. Gitu kali ya. Enggak kok, Api itu buat membakar ayam yang kami beli.

Bukan hanya jadwal keberangkatan yang diubah. Resep pun harus diubah. Yang awalnya hanya buat sop dan ayam bakar. Kini dibuat soto ayam. Tak apalah yang terpenting bukan masak apa. Tapi makannya kenyang atau tidak. 30 menit berselang. Makanan pun siap disantap. Fajri makan di karpel, saya di hammock. Seraya makan kami terus bercerita tentang indahnya dunia. Ya, dunia yang penuh persaingan. Dunia yang penuh tipu muslihat. Dunia dan keegoisan manusia untuk menggenggamnya.

Sebenarnya dialog ini sudah kami bicarakan di perjalanan. Tapi, sampai kami makan pun dunia gak akan habis ceritanya. Mungkin begitu kali dunia. Tidak akan habis sampai ajal menjemput atau mungkin sampai kiamat. Dan mungkin setelah kiamat para Nabi dan Rasul masih mendiskusikannya dengan Maha Pencipta. Entahlah, tidak perlu diperpanjang. Karena yang harus dipanjangkan adalah doa dan ikhtiar. Alhamdulillah.

Fajri, membantu buat api agar ada kegiatan sambil nunggu masakan




Kembali ketopik, sumpah. Perjalanan menyusuri hutan dan menikmati sungai dengan air yang dingin, hawa yang sejuk. Ditemani kawan yang satu frekuensi. Membuat kopi, memasak, dan tidur sejenak karena kekenyangan menjadi tambahan pengalaman hidup. Paling tidak hari itu beban hidup hilang, dan berat badan berkurang sedikit.

Canda, lelah, letih, ngeluh, kesal menjadi warna dalam perjalanan menuju surga dunia. Semuanya adalah hal wajar. Untuk mencapai tujuan, kita butuh waktu istirahat untuk menuangkan semua perasaan. Seperti kalimat, butuh spasi, koma dan titik untuk menjadi jeda. Tetap stay cool, nikmati yang ada, jalani semua rintangan. Karena semua akan kembali ke diri kita. Ingat kata Tan Malaka “Terbentur, terbentur, terbentuk”.
 
Pukul 16.50 Wita, kami pun mengemasi barang. Saya dan Fajri harus bergegas keluar dari hutan sebelum gelap. Kami telah mengumpulkan semangat baru menjadi beban keluarga di rumah. Kami siap menjalani tantangan di kehidupan kami masing-masing. Saya juga telah memutuskan dua hari setelah perjalanan ini untuk ke kota yang menjadi persinggahan paling lama dan menyiapkan strategi untuk menantang dunia. 

Komentar

Postingan Populer