Rentetan Permasalah Soal Pandemi



Kini kita sedang berada dalam kerumunan. Pandemi global yang menyita pikiran. Kekhawatiran ramai, berdengung kencang. Nyinyiran Corona terus menjadi beban. Aku yang terbiasa bepergian, mencari berita di pinggir jalan. Kini harus mendengar dan patuh terhadap aturan.

Duduk dalam ruangan 3X3. Sesekali menelpon mereka yang hendak diberitakan. Matahari pun kini sukar menyentuh kulitku yang kusam. Tapi, tidak jarang juga turun untuk memastikan. Bukan bandel. Hanya ingin membenarkan. Menurutku menyajikan pemberitaan nyata dalam tulisan sudah menjadi keharusan.

Kataku, menjadi pewarta telepon akan termakan omongan. Sudah barang tentu, kenyataan akan lebih faktual. Bukan tak percaya. Tapi, bukankah kecurigaan harus ditanamkan dalam jati diri wartawan. Ini sebagai antisipasi dalam mencawiskan buletin. Menurutku, mulut bisa saja mengelabui. Apa yang diucapkan belum tentu terbukti. Maka, penelusuran sangat diwajibkan.

Sementaran kelesah terhadap pandemi global tetap menjadi momok menakutkan. Bukan untukku saja, tapi bagi seluruh teman seperjuangan. Betapa tidak, beberapa jurnalis harus meregang nyawa akibat corona.

Virus ini mengingatkanku pada semesta yang biasanya berjalan sederhana. Menurutku, saat ini, seantero bumi masuk dalam perwajahan baru. New Normal, kata mereka. Pelukan tanda keakraban pun sudah sirna. Kini yang ada harus berjauhan. Satu meter katanya. Jabat tangan tanda kedatangan atau perpisahan pun kini hanya lewat senyuman. Semua ambyar. Tidak ada harmonisasi lagi dalam kehidupan.

Tapi apa boleh buat, untuk pencegahan penyebaran semua harus dilakukan. Bukan menghamba pada pemerintah. Tapi akan kesadaran menjadi makhluk sosial dan saling menjaga bukan kah anjuran dari Pencipta.

Lalu, di tengah perjuangan dalam menyampaikan kabar malah dicap buruk oleh sebagian orang. Tak usah disebut, banyak yang viral akhir-akhir ini. Media acap kali disalahkan. Katanya, penebar ketakutan. Bahkan, dianggap sebagai pembawa kematian. Padahal, warita yang tersaji, bersumber dari pemangku jabatan yang sesuai tupoksi.

Buletin yang terpublik pun telah melalui berbagai saringan. Dari perbaikan redaksi, hingga tatanan bahasa.  Belum lagi ditambah beberapa oknum yang terlanjur pintar. Berkomentar tanpa membaca isi warta keseluruhan.

Beberapa dari mereka juga telah mengambil peran. Melebihi dokter. Petugas medis. Hingga menggantikan kapasitas Tuhan. Sangat mudah memvonis penderita Covid-19 harus dilenyapkan.

Terkadang saya berpikir. Mungkin saat ini banyak yang kehilangan rasa empati, dan saling menghormati. Sebagai contoh, di beberapa daerah dalam negeri, terdengar melalui surel kabar adanya pengusir pasien yang terjangkit pandemi ini. Gunjingan. Sindiran mereka lontarkan. Bahkan, ada yang tak segan melempari barang bawaan.

Mungkin ini akhir dari slogan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Pandemi ini merubah kenyataan. Bersatu kita terpapar berpisah kita terhindar. Namun, untuk pemaknaan. Bukankah masih sama?

CUKUP. Coba pikirkan. Senyuman dan ucapan motivasi  mungkin akan membangkitkan semangat penderita wabah global untuk kesembuhan. Ditambah lagi seandainya banyak rezeki, santuni mereka yang terdampak. Kita semua paham, dunia kini sedang tak baik. Ayo bukalah was-wasan. Tak ada yang mau terinfeksi. Semua gerun. Tapi jangan sampai giris menurunkan imun penderita dan juga kita.

Komentar

Postingan Populer